MAKALAH FILSAFAT UMUM

 

PENGERTIAN ILMU, OBJEK, METODE

DAN STRUKTUR PEMBAHASAN FILSAFAT

 

 

DISUSUN OLEH: KELOMPOK SATU

1.  ABDAN SYAKURON     NIM: 1624400003

2.  FERA PRADITA             NIM: 1654400034

3.  FERDA JUNIARISMA    NIM: 1654400035

4.  FERI ARDIANSYAH      NIM: 1654400036

5.  FITRIA WANDA SARI   NIM: 1614400037

DOSEN PEMBIMBING:

RATIH HANDINI, S.FIL., M.Hum

 

JURUSAN ILMU PERPUSTAKAAN

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH

PALEMBANG

TAHUN AJARAN 2016/2017

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami curahkan kepada Tuhan yang Maha Esa, karena atas berkat dan limpahan rahmat-Nyalah maka kami bisa menyelasaikan sebuah karya tulis dengan tepat waktu.

            Berikut ini penulis membuat sebuah makalah dengan judul “Pengertian Ilmu, Objek, Metode dan Struktur Pembahasan Filsafat” yang menurut kami dapat memberikan manfaat  besar bagi kita semua.

            Melalui kata pengantar ini penulis terlebih dahulu meminta maaf dan memohon pemakluman bilamana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang kami buat kurang tepat atau menyinggung perasaan pembaca.

            Dengan ini kami mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima kasih dan semoga Allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat kepada kita semua.

Semoga makalah ini bermanfaat Aamiin.

Palembang, Oktober 2016

 


 

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................    2

DAFTAR ISI ..........................................................................................................    3

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................    4

A.   Latar Belakang ..........................................................................................     4

B.   Rumusan Masalah ....................................................................................     4

C.   Tujuan Penulisan ......................................................................................     5

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................      6

A.   Pengertian Ilmu ........................................................................................      6

B.   Objek Filsafat ...........................................................................................      7

C.   Metode Filsafat ........................................................................................       8

D.   Struktur Pembahasan Filsafat ..................................................................      15

BAB III PENUTUP ...............................................................................................     18

 A. Kesimpulan ................................................................................................     18

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................      19


 

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia adalah mahluk istimewa yang diciptakan Allah SWT. Keistimewaan manusia terletak pada potensi-potensi yang Allah berikan kepadanya. Baik itu potensi yang berupa fisik ataupun non-fisik. Semua potensi fisik manusia memiliki fungsi yang sangat luar biasa kegunaannya bagi keberlangsungan hidup manusia itu sendiri, begitupun dengan potensi non-fisik yang terdiri atas: jiwa (psyche), akal (ratio) dan rasa (sense).

Dengan potensi akalnya, manusia mampu menjadi mahluk yang lebih mulia kedudukannya daripada mahluk lain. Allah telah mengaruniai manusia sebuah anugerah yang mampu menjadikan manusia mahluk yang berbudaya. Berbeda dengan hewan yang tidak mampu berbudaya dikarenakan hewan tidak memiliki akal. Dengan akalnya ini pula manusia mampu berfikir, bernalar dan memahami diri serta lingkungannya, berefleksi tentang bagaimana ia sebagai seorang manusia memandang dunianya dan bagaimana ia menata kehidupannya. Karena kemampuan dalam menggunakan nalarnya, manusia dapat mengembangkan pengetahuan yang merupakan rahasia-rahasia kekuasaan-Nya.

Para ilmuan mampu mencapai sesuatu yang besar karena mereka dapat mengoptimalkan potensi akal yang Allah SWT berikan kepada mereka dan tentunya kepada kita juga. Dan salah satu bidang keilmuan yang membelajarkan manusia untuk dapat mengoptimalkan akalnya adalah Ilmu Filsafat. Filsafat adalah sebuah disiplin ilmu yang membutuhkan refleksi dan pemikiran sistematis-metodis dengan secara aktif menggunakan intelek dan rasio kita. Oleh karena itu, melalui makalah ini akan coba dipaparkan sebuah pengantar filsafat sebagai bekal dalam menuju dan mengungkap rahasia terbesar yang tersimpan dalam akal kita.

 

B. Rumasan Masalah

Dari latar belakang diatas dapat diambil beberapa rumusan masalah sebagai berikut:

a.  Apakah makna dari ilmu filsafat?

b.  Apa saja objek filsafat?

c.   Metode apa saja yang digunakan dalam berfilsafat?

d.  Apakah struktur dalam pembahasan filsafat?

 

C. Tujuan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut

a.    Dapat mengetahui apakah makna dari ilmu filsafat

b.    Dapat mengetahui apa saja objek filsafat

c.    Dapat mengetahui metode apa saja yang digunakan dalam berfilsafat

d.    Dapat mengetahui apa saja struktur dalam pembahasan filsafat


 

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ilmu Filsafat

Dalam pengertian awalnya, Filsafat berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata philo yang artinya cinta dan sophia yang artinya kebijaksanaan atau kebenaran. Dalam pengertian yang terbatas yaitu, semua ilmu pengetahuan, yang membicarakan hakikat.

Secara terminologi filsafat yaitu uraian yang menjelaskan berdasarkan batasan-batasan definisi yang di susun  oleh sejumlah filsuf dan ahli filsafat.

Pengertian terminologi tentang filsafat adalah:

a. Upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan tensistematik dan lengkap tentang seluruh realitas.

b. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir dan dasar secara nyata.

c. Upaya untuk menentukan batas-batas dan jangkauan pengetahuannya, sumbernya, hakikatnya, keabsahannya, dan nilainya.

d. Penyelidikan kritis atas pengendalian-pengendalian dan pernyataan pernyataan yang diajukan oleh berbagai bidangg ilmu pengetahuan.

e. Disiplin ilmu yang berupaya untuk membantu kita melihat apa yang kita katakan dan untuk mengtakan apa yang kita lihat.

 

Defenisi filsafat menurut para ahli menurut para ahli:

a. Plato, berpendapat bahwa filsafat adalah pengetahuan yang mencoba untuk mencapai pengetahuan tentang kebenaran yang asli.

b. Aris toteles, filsafat adalah ilmu (pengetahuan) yng meliputi kebenaran yang didalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik dan estetika.

c. Rene descartes, filsafat adalah kumpulan-kumpulan semua pengetahuan dimana Tuhan, alam, manusia menjadi pokok penyelidikan.

d. Imanual kant, filsafat adalah ilmu atau pengetahuan yang menjadi pangkal dari semua pengetahuan yang didalamnya tercakup masalah epistemologi (filsafat pengetahuan).

e. Ibnu sina, mengemukakan bahwa filsafat adalah pengetahuan otonom yang perlu ditimba oleh manusia sebab ia dikarunia akal oleh Allah.

 

Langeveld dalam bukunya Op Weg Naar Wijsgerig Danken mengelakkan untuk memberikan pengertian langsung tentang filsafat. Atas pertanyaan “Apa itu filsafat?”, dijawabnya: “Apa itu filsafat, akhirnya hanya kita ketahui dengan berfilsafat ... Dan bagaimana kita memasuki filsafat itu? ... Kita berada di dalamnya, manakala kita memikirkan pertanyaan apapun juga secara radikal, yakni dari dasar kepada konsekuensinya yang terakhir, sistematis, yakni dalam penuturan yang logis dan dalam urutan dan saling-hubung yang bertanggung jawab, dalam ikatan dengan keseluruhannya. Apa yang terbentuk sebagai keseluruhan penuturan dan uraian disebut filsafat. Filsafat terbentuk karena ber-filsafat.”[1]

Berfilsafat ialah  mencari kebenaran dari kebenaran untuk kebenaran, tentang segala sesuatu yang dimasalahkan, dengan berfikir secara radikal, sistematis dan universal.

Apabila seseorang berpikir demikian dalam menghadapi masalah dalam hubungannya dengan kebenaran, adalah orang itu telah memasuki filsafat. Penuturan dan uraian yang tersusun oleh pemikirannya itu adalah filsafat.

Bertolak dari kata kata kerjanya, kita dapat merumuskan kata bendanya: filsafat adalah sistem kebenaran tentang segala sesuatu yang dipersoalkan sebagai hasil dari berpikir secara radikal, sistematis dan universal.[2]

B. Objek Filsafat

Isi filsafat ditentukan oleh objek apa yang dipikirkan. Objek yang dipikirkan oleh filsafat ialah segala yang ada dan mungkin ada. ”Objek filsafat itu bukan main luasnya”, tulis Louis Katt Soff, yaitumeliouti segala pengetahuan manusia serta segala sesuatu yang ingin diketahui manusia. Oleh karena itu manusia memiliki pikiran atau akal yang aktif, maka manusia sesuai dengan tabiatnya, cenderung untuk mengetahui segala sesuatu yang ada dan mungkin ada menurut akal piirannya. Jadi objek filsafat ialah mencari keterangan sedalam-dalamnya.

Para ahli menerangkan bahwa objek filsafat itu dibedakan menjadi dua, yaitu objek material dan formal. Objek material ini banyak yang sama dengan objek material sains. Sains memiliki objek material yang empiris. Filsafat menyelidiki objek filsafat itu juga tetapi bukan bagian yang empiris melainkan bagian yang abstrak. Sedang objek formal filsafat tiada lain ialah mencari keterangan yang sedalam-dalamnya tentang objek materi filsafat (yakni segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada).

Dari uraian yang tertera diatas, maka jelaslah bahwa:

1. Objek material filsafat, yaitu hal atau bahan yang diselidiki ( hal yang dijadikan sasaran penyelidikan) atau segala sesuatu yang “ada” disini mempunyai 3 pengertian, yaitu ada dalam kenyataan, pikiran dan kemungkianan. Pengertian lain adalah segala sesuatu yang menjadi masalah filsafat. Segala sesuatu yang menjadi permasalahan pokok dalam filsafat ada 3 yaitu:

a. Hakekat Tuhan

b. Hakekat alam

c. Hakekat manusia

 

2. Objek formal filsafat, yaitu sudut pandang (point of new), dari mana hal atau barang tersebut dipandang bersifat menyeluruh. Menyeluruh disini berarti bahwa filsafat dalam memandangnya dapat mencapai hakekat mendalam, atau tidak ada satupun yang berada diluar jangkauan bembahasan filsafat. Pengertian lain menyebutkan bahwa objek formal filsafat adalah usaha mencari keterangan secara radikal (sedalam-dalamnya sampai keakar-akarnya). Menurut ir. poedjawijatna, objek materi filsafat adalah ada dan yang mungkin ada. Objek materi filsafat tersebut sama dengan objek materi dari ilmu seluruhnya. Yang menentukan perbedaan ilmu yang satu dengan yang lainya adalah objek formalnya, sehingga kalau ilmu membatasi diri dan berhenti pada dan berdasarkan pengalaman, sedangkan filsafat tidak membatasi diri, filsafat hendak mencari keterangan yang sedalam-dalamnya, inilah objek formal filsafat.

 

C. Metode Filsafat

Menurut Stephen C. Pepper, dalam Sumaryono (1999), metode filsafat bukanlah metode ‘ketergantungan’ atau ‘kepastian’, melainkan lebih merupakan ‘metode hipotesis’. Pepper menyebut metode filsafat yaitu ‘hipotesis filsafat’ sebagai ‘hipotesis dunia’, yaitu ‘hipotesis yang sama sekali tidak mempunyai batas, dan yang memperhitungkan semua kenyataan atau evidensi. Hipotesis dunia mencakup semua hal, baik yang khusus atau yang abstrak sejauh hal itu mungkin ada. Jadi, hipotesis filsafat (metode filsafat) berbeda dengan hipotesis ilmiah (bersifat spesifik, pasti, dan harus bisa teruji secara empiris). Hipotesis filsafat bersifat spekulatif, mendalam dan komprehensif (hakikat sesuatu).

Menurut para ahli tidak ada metode tunggal yang dianggap paling benar dan berlaku secara universal dalam memahami filsafat atau hakikat terdalam tentang segala sesuatu dalam hidup ini. Setiap metode filsafat yang dikembangkan oleh filosof pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh sudut pandang tertentu dan kondisi jaman atau waktu dan tempat (lingkungan geografis), serta latar belakang kehidupan sosial budaya atau politik, ekonomi yang dialaminya.

            Metode mempelajari filsafat ada tiga, yaitu : (1) Metode sistematis ; (2) Metode historis;dan (3) Metode kritis.

Belajar dengan sistematis, di mulai dengan banyak membaca buku filsafat, memahami pengertiannya, objek yang di kaji, sistematika filsafat, makna ontologi, epistemologi, dan aksiologi.

Belajar dengan metode historis adalah mempelajari sejarah filsafat, seluk beluk dan kelahirannya.  Filsafat di yunani dan barat, filsafat di dunia dan kalangan filosof muslim, filsafat kristiani, dan semua yang berbau sejarah di pelajari secara mendalam.

            Barulah metode yang ketiga, yakni mempelajari filsafat dengan metode kritis, ini untuk yang tingkat tinggi. Yang dapat dilakukan “untuk lebih hebat” dua metode di atas sudah di lewati . bagaimana mau mengkritisi, jika sejarah filsafat tidak tahu, atau pengertian ontologi saja belum hapal.

            Menurut Juhaya S. Pradja (1997 : 14), metodologi filsafat ada tiga, yakni: (1) metode deduksi, yakni suatu metode berpikir yang menarik kesimpulan dari prinsip-prinsip umum kemudian di terapkan pada sesuatu yang bersifat khusus; (2) metode induksi, yakni metode berpikir dalam menarik kesimpulan dari prinsip khusus kemudian di terapkan pada sesuatu yang bersifat umum; (3) metode dialektika, yakni metode berpikir yang menarik kesimpulan melalui tiga tahap atau jenjang, yakni tesis, antitesis, dan sintesis.

            Tiga metode yang di kemukakan oleh Juhaya S. Pradja itu, saya sebut saja, bahwa mempelajari filsafat ada dua pendekatan, yaitu pendekatan logika dan dialektika.

            Sumaryono (1993 :15) menegaskan bahwa kritik yang diarahkan kepada filsafat ialah bahwa filsafat kekurangan metode dalam pembahasannya. Filsafat kini lebih banyak di kaji oleh orang yang jelas-jelas bukan filosof atau ngaku-ngaku sebagai filosof. Kehadiran filsafat menurut pandangan mereka, hanya rangkaian kalimat yang membingungkan atau sekedar teka-teki masalah yang secara aksiologis tidak bernilai scara filosofis.

            Para filosof telah berusaha menyusun sebuah metode untuk mendapatkan pengakuan universal, ataupun mempertahankan kelayakan filsafat sebagai sebuah disiplin ilmu. Plato (427-437 SM) membahas filsafat dengan metode dialektik, yaitu dua orang yang berdialog saling melemparkan pertanyaan dan memberikan jawaban secara bergantian. Kebenaran yang di peroleh atas dasar metode dialektik bertanya dan menjawab ini, secara berangsur-angsur mengurangi keraguan ataupun ketidakjelasan atas semua hal.  Tokoh utama yang diperankan oleh plato dalam dialog itu adalah Socrates, sebagai orang mengajukan pertanyaan-pertanyaan di sudut-sudut kota Athena. Meskipun penggunaan metode dialog platonik ini tidak diragukan lagi, metode ini bukan metode yang paling utama bagi pembahasan filsafat. Bahkan, menggangap semua persoalan kefilsafatan dapat di atasi dengan metode ini adalah sesuatu yang naif. (Sumaryono, 1993: 16-20)

            Aristoteles (384-322 SM) menjadi terkenal karena metode silogisme atau logikanya. Dengan menggabungkan pembenaran dan penyangkalan di antara tiga terma, sebuah kesimpulan uang menyakinkan dapat diperoleh dengan metode ini. Aristoteles merangkaisemua kombinasi yang mungkin terjadi dan merumuskan hukum-hukum untuk mengatur kombinasi –kombinasi tersebut.  Metode ini menjernikan dan membuang keraguan jalan pikiran atas dasar hubungan antara tiga terma. Metode yang di ciptakannya ini pada akhirnya membuat Ariatoteles mendapat julukan “Bapak Logika”.

            Metode yang dikembangkan Aristoteles dipandang tidak ilmiah, terutama setelah munculnya Francis Bacon, penulis buku Novum Organum (Organon Baru) yang mengkritik logika Arisyoteles dan mengganggapnya kkurangan aturan dan prinsip yang berguna untuk menetapkan hukum penalaran yang ilmiah.

Rene Descartes (1596-1650), seorang ahli matematika perancis yang merasa prihatin atas kurangnya metode pada filsafat, kemudian menyusun metode sendiri yang di sebut dengan “metode ragu-ragu”, sebuah metode yang dipergunakan untuk menghapus keseluruhan bangunan ilmu pengetahuan. Sebagai gantinya, ia menciptakan bangunan filosofis baru dan masing-masing blok bangunan itu dicoba dan diuji sehingga terbebas dari keraguan. Descartes dikagumi dunia karena metodenya, sebab ia meletakkan prinsip-prinsip untuk menilai validitas berbagai tuntutan kebenaran. Bukunya yang berjudul Principles of Philosophy (prinsip-prinsip filsafat) mengangkatnya menjadi “Bapak filsafat modern.”     

Rene Descartes (1596-1650) adalah tokoh utama rasionalisme yang menciptakan metode “keraguan” terhadap segala sesuatu dalam berfilsafat. Dia meragukan semua objek yang dapat dilihat oleh pancaindra, bahkan pada tubuhnya sendiri. Hal tersebut karena apa yang dilihatnya dalam mimpi, berhalusinasi, dan ilusi, maka yang sebenarnya “ada” yang mana? Apa yang sedang tertidur atau terbangun, lalu mengapa onjek uang dilihatnya sama.

Akan tetapi, Descartes berusaha menemukan kebenaran yang benar-benar meyakinkan, sehinga dengan memakai metode deduktif, semua pengetahuan dapat disimpulkan. Selain descartes, penganut rasionalisme adalah Spinoza. Dia telah menyusun sistem filsafat yang menyerupai sistem ilmu ukur. Spinoza berpandangan bahwa argumen-argumen ilmu ukur merupakan kebenaranyang tidak perlu dibuktikan lagi. Artinya, jika seseorang memahami makna yang di kandung oleh kata-kata yang dipergunakan dalam dalil-dalil ilmu ukur, ia tentu akan memahami makna yang terkandung dalam pernyataan “sebuah garis lurus merupakam jarak terdekat di antara dua buah titik”, mau tidak mau harus diakui kebenaran pernyataan tersebut. Sebagai kebenaran aksiomatik, Juhaya S. Pradja (2000 :19) menjelaskan bahwa pada intinya tidak perlu ada bahan-bahan bukti lain, kecuali makna yang terkandung dalam kata-kata yang dipergunakan. Spinoza menetapkan definisi-definisi berbagai istilah “substansi” dan “sebab bagi dirinya sendiri”, yang semua itu dipandang kebenaran yang tidak perlu lagi dibuktikan.

Metode fenomenologis artinya fenomena diderivasi dari kata benda “phas” yang berarti cahaya. Kata kerjanya “phainomai” artinya menampakan diri. Metode ini digunakan oleh Edmund Husserl (1859-1938 M). Baginya, fenomena (gejala) bukanlah suatu selubung yang mewujudkan realitas dan juga bukan sebagai penampakan realitas saja. Fenomenologi menggunakan tiga langkah kegiatan, yaitu (1) reduksi fenomenologis, (2) reduksi eiditis,dan (3) reduksi transendetal. Reduksi fenomenologis ialah menyaring setiap keputusan yang secara naif muncul terhadap objek yang diamati seperti keputusan yang subjektif sehingga fenomena tampak murni. Reduksi eidetis ialah objek yang harus benar-benar hakiki atau eidetis. Eidetis ialah intisari atau okok sejati. Reduksi transendental  ialah situasi dan kondisi subjek secara hakiki terbebas dari pengalaman empiris dalam rangka mengimbangi kemurnian fenomena sehingga yang tidak ada hubungannya dengan yang diteliti dibersihkan dengan kesadaran murni. (Abdur Rozak dan Isep Zainal Arifin, 2002 :81-82).

Pada umumnya, metodologi filsafat dapat dipahami menjadi dua maksud, yaitu:

1.    Cara kerja filsafat dalam memikirkan objek materia dan objek forma dengan tiga pendekatan utama yang telah diuraikan sebelumnya, yaitu : ontologi, epistemologi, dan aksiologi.

2.    Cara kerja filosof dalam menggunakan filsafat sebagai metode berpikir sistematis, logis, kontemplatif, dan radikal.

Di samping  dua kategori metodologi  filsafat di atas, ada tiga pendekatan penting dalam berfilsafat, yaitu:

1.    Pendekatan naturalistik, yaitu pendekatan filosofis dalam memahami segala sesuatu dengan bertitik tolak dari pandangan utama bahwa sumber dari segala yang ada dan yang mungkin ada, adalah keadaan alam jagat raya ini.

2.    Pendekatan supra-natural, yaitu pendekatan yang berangkat dari pandangan bahwa setiap yang mengalami perubahan bukan keberadaan yang sesungguhnya. Dengan demikian, hakikat segala yang ada adalah yang menciptakan segala yang mungkin ada. Segala yang ada yang mengawali segala “awal adanya perubahan” itu sendiri.

3.    Pendekatan relativistik, yang menyatakanbahwa semua pikiran, pemahaman, filsafati manusia mengandung kebenaran yang nisbi, termasuk pandangan bahwa zat yang ada yang mengadakan segala yang mungkin ada.

Sebagaimana  Ahmad Tafsir menjelaskan bahwa Anaximander menyatakan substansi pertama yang ada dengan sendirinya dan bersifat kekal adalah udara, sebab udara selalu dibutuhkan dalam kehidupan. Dengan demikian, sudah ada dua jawaban yang “benar” menurut argumennya masing-masing sebagai bibit dari relativisme kebenaran yang kekal dikembangkan dalam filsafat Sofisme.

Paham relativisme semakin mempunyai dasar setelah Herakleitos menyatakan bahwa siapa pun tidak akan dapat terjun ke dalam sungai dua kali karena air sungai selalu mengalir. Dengan demikian, kebenaran pun terus berubah, tidak tetap. Dari sinilah, akal mulai mengoyak jati diri kebenaran yang diproduksinya sendiri.

            Metode pengkajian filsafat dapat juga menggunkan metode intuitif atau intuition(inggris) dan intueri-intuitus(Latin). Maksudnya adalah in (pada) dan tueri (melihat atau menonton). Secara terminologis, intuisi yaitu pemahaman, pengenalan, penglihatan, atau penangkapan (aprehensi) terhadap suatu kebenaran secara langsung tanpa melalui inferensi (penyimpulan). Sebagai  sebuah metode yang prosesnya menggunakan aktivitas kontemplasi dengan melakukan perenungan secara intens dan mendalam, pada dasarnya metode intuisi bukan metode antirasional, melainkan suprarasional bahkan bersifat spiritual. ( Abdur Rozak dan Isep Zainal Arifin, 2002 : 81-82).

            Pada mulanya, metode ini digunakan oleh Plotinus (205-270 M). Lalu, banyak digunakan oleh para sufi Muslim seperti Ibn Arabi (1165-1240 M) dan belakangan dikembangkan oleh Henri Bergson (1859-1941 M).

            Secara global, intuisi dapat diklasifikasikan dalam dua bentuk. Pertama, intuisi indriawi intuisi ini ditemukan dalam kehidupan binatang meskipun secara lebih sempurna ditemukan dalam kehidupan manusia sendiri. Kedua,intuisi intelektual  intuisi ini hanya ditemukan pada orang-orang yang mempunyai kemampuan rasional atau intelektual tinggi. Proses aktivitas intuisi ini berjakan ketika orang tersebut melakukan kontemplasi untuk mendekatkan dirinya kepada intelektual agen (yang mahakuasa). Dapat pula digunakan metode skolastik, yaitu metode yang disebut sebagai metode sintesis deduktif. Ia dipakai untuk mengajar dalam semua ilmu, tetapi terdapat hubungan erat dengan metode berpikir. Metode ini digunakan oleh Thomas Aquinas (1225-1247)

            Sementara metode geometris adalah metode yang dianggap pleh penggunanya  sebagai metode integrasi dari berbagai logika, analisis geometris, dan al-Jabr. Guna menghindari kelemahannya, para filosof menggunakan ,metode analisis dan metode empirisme rasional. Bagi penggunanya, analis geometris merupakan suatu ilmu yang menyatukan semua displin ilmu yang terakumulasi dalam ilmu pasti sehingga dengan metode ini di harapkan hasil kajian sangat mendasarkan pada kuantitas murni dan umum. Metode ini digunakan oleh Rene Descartes (1596-1650 M). Metode ini juga merupakan kombinasi antara pemahaman intuitif pemecahan masalah dan uraian analitis sekaligus mengembangkan permasalahan pada hal yang telah diketahui lalu menghasilkan pengertian baru. Dapat juga disebut sebagai metode holistik.

            Kaum empirisisme  menggunakan metode eksperimental dalam mengkaji filsafat. Metode ini tidak banyak menguraikan cara-cara, tetapi langsung melaksanakan aktivitas berupa observasi tingkah laku dan introspeksi proses-proses psikologis. Metode ini digunakan oleh David Home (1711-1776 M). David Home oleh para filosof dikelompokkan sebagai salah satu dari tiga orang yang empirisme utama Inggris, bersama Locke Berkeley.

            Metode kritis-transendental yang sering digunakan dalam kajian filsafat adalah metode yang merupakan analisis kriteriologis yang berpangkal pada pengertian objektif. Metode ini digunakan oleh Immanuel Kant (1724-1804 M). Kant menerima nilai objektif ilmu-ilmu positif karena ia dapat menghasilkan kemajuan hidup sehari-hari. Kant juga menerima nilai objektif agama dan moral, sebab ia memberikan kemajuan dan kebahagian. Pengertian itu disebutnya sebagai sintetis-apriori. Ia juga membedakan pengertian analisis dan sintesis. Analisis dibagi atas empat macam yaitu:

1.    Analisis psikologis

2.    Analisis logis

3.    Analisis ontologis

4.    Analisis kriteriologis

Adapun sintesis dibagi lagi atas dua macam, yaitu :

1.    Sintesis aposteriori

2.    Sintesis apriori

Hanya saja, dampak dari dikembangnya postulat objektivitas pengertian sintesis apriori dapat ditemukan struktur baru yang dikenal dengan istilah analisis transendental.

             Hegel dalam kajian filsafatnya menggunakan metode dialektis yang berupaya memahami realitas dengan mengikuti gerakan pikiran atau konsep asal yang berpangkal pada pemikiran yang benar sehingga pemahaman akan dibawah oleh dinamika pikiran itu sendiri. Mengikuti dinamika pikiran dan realitas itu disebut sebagai metode dialektis. Metode ini digunakan oleh G.W.F. Hegel (1770-1831 M). Dialektika menggunakan tiga langkah, yaitu melalui tesis-antitesis membentuk sintesis.

D. Struktur Pembahasan Filsafat

            Filsafat mencari pengetahuan yang pasti, eksak, teratur dan tersusun. Tetapi kepastian dan ke-eksakan pengetahuan filsafat tidak mungkin diuji seperti pengetahuan ilmu. Yang pertama tersusun dari hasil riset dan eksperimen. Maka riset dan eksperimen pula yang menguji kebenaran pengetahuan ilmu. Yang kedua hasil dari berpikir radikal, sistematis dan universal. Maka keradikalan, kesistematisan, dan keuniversalan pemikiran pula yang dapat menguji kebenaran pengetahuan filsafat.[3]

Struktur filsafat adalah cara kerja filsafat dalam mencari kebenaran. Cara kerja filsafat adalah sebagi berikut:

1.    Menjadikan rasio sebagai alat utama untuk menemukan kebenaran

2.    Merasionalisasikan segala sesuatu yang ada dan mungkin ada dengan cara berfikir logis dan rasional

3.    Menjadikan semua objek ilmu pengetahuan sebagai objek material filsafat, tetapi cara kerjanya tidak mengenal cara akhir sebuah kebenaran, karena kebenaran telah terbukti

4.    Kebenaran yang bersifat observatif dan empiris bagi filsafat merupakan langkah awal menuju pencarian kebenaran hakiki

5.    Cara kerja yang radikal, sistematis, dan universal

6.    Objek kajian filsafat tidak sebatas segala pada sesuatu yang alamiah, bahkan sesuatu yang sebenarnya zat yang menciptakan alam, yang tidak bersifat alamiah, yakni tuhan tak segan-segan dijadikan bahan perdebatan dan perbincangan filsafat.

Sifat Dasar Filsafat

a. Berfikir radikal

            Metode berfikir radikal yaitu senantiasa mengibarkan hasrat untuk menemukan akar secara mendalam akan seluruh kenyataan. Berfikir secara radikal akan memperjelas realitas lewat penemuan dan pemahaman akan realitas itu sendiri.

            Lois o kattsoff, mengatakan bahwa kegiatan kefilsafatan ialah merenung, tetapi bukanlah melamun dan bukan pula berfikir sercara kebetulan, yang bersifat untung-untungan, melainkan di lakukan secara mendalam, sistematis, dan universal.

b. Mencari asas

            Mencari asas yakni filsafat senantiasa berupaya mencari asas (dasar) yang paling hakiki dari keseluruhan realitas tersebut. Para filsuf yunani yang terkenal dengan filsuf alam mengamati keanekaragaman realitas di alam semesta ini lalu bertanya “apakah di balik realitas alam semesta yang beraneka ragam ini ada suatu asas yang dasar?”. Mereka mulai mencari jawaban yang hakiki tentang itu semua. Thales megemukakan bahwa alam mencari asas yakni filsafat senantiasa berupaya mencari asas (dasar) yang paling hakiki dari keseluruhan realitas tersebut. Semesta ini adalah air, Aneximenes mengemukakan bahwa asasnya adalah udara dan Empedokles mengemukakan bahwa ada empat unsur yang membentuk realitas alam ini yaitu, api, udara, tanah dan air.

c. Memburu kebenaran

            Memburu kebenaran yakni memburu kebenaran akan sesuatu yang hakiki dan dapat di pertanggung jawabkan.


 

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

      Filsafat dapat diartikan sebagai rasa cinta terhadap kebijaksanaan atau kebenaran, selalu mencari pengetahuan tentang kebenaran yang hakiki. Objek kajian filsafat ada dua yaitu objek material dan objek formal, objek material yaitu hal atau bahan yang diselidiki (hal yang dijadikan sasaran penyelidikan) atau segala sesuatu yang “ada”, dan objek formal yaitu usaha mencari keterangan secara radikal (sedalam-dalamnya sampai keakar-akarnya). Metode mempelajari filsafat ada tiga, yaitu, Metode sistematis, Metode historis, dan Metode kritis. Struktur filsafat adalah cara kerja filsafat dalam mencari kebenaran. Cara kerja filsafat adalah, menjadikan rasio sebagai alat utama untuk menemukan kebenaran, merasionalisasikan segala sesuatu yang ada dan mungkin ada dengan cara berfikir logis dan rasional, menjadikan semua objek ilmu pengetahuan sebagai objek material filsafat, tetapi cara kerjanya tidak mengenal cara akhir sebuah kebenaran, karena kebenaran telah terbukti, kebenaran yang bersifat observatif dan empiris bagi filsafat merupakan langkah awal menuju pencarian kebenaran hakiki, cara kerja yang radikal, sistematis, dan universal, objek kajian filsafat tidak sebatas segala pada sesuatu yang alamiah, bahkan sesuatu yang sebenarnya zat yang menciptakan alam, yang tidak bersifat alamiah, yakni tuhan tak segan-segan dijadikan bahan perdebatan dan perbincangan filsafat.

 


 

DAFTAR PUSTAKA

https://www.scribd.com/doc/38046700/Ltm-2-Struktur-Ilmu-Dalam-Filsafat-Ilmu

Sidi Gazalba, 1992, Sistematika Filsafat, Jakarta: PT Bulan Bintang.

http://firmansyam22.blogspot.co.id/2015/11/makalah-objek-filsafat.html

 

 



[1] Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1992), hal. 23

[2] Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1992), hal. 24

[3] Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1992), hal. 43-44

Komentar

Let's see!!